Namaku Jackie dan tentunya bukan nama asliku. Aku
adalah pria yang kurang beruntung, karena sudah dua kali ingin
berniat untuk berkeluarga dan dua-duanya gagal. Aku berasal dari
Indonesia, tapi sudah lama sekali tinggal di negerinya "kanguru".
Dan atas saran teman-teman, maka aku mensponsori seorang cewek dari
Indonesia dengan niat untuk menikah. Tapi setelah wanita itu
mendapatkan izin tinggal tetap di negeri ini, wanita itu
meninggalkan aku. Begitu juga dengan yang kedua, yang berasal dari
Amerika Latin. Nah, karena rumah yang kumiliki ini mempunyai dua
kamar dan karena aku hanya tinggal sendiri sekaligus sudah kapok
untuk mencari pasangan lagi, maka kamar yang satunya aku sewakan
pada seorang pelajar (cowok) dari Jepang. Namanya Gamhashira. Gamha
yang playboy ini sudah dua hari pulang ke negerinya untuk berlibur
setelah menamatkan SMA-nya.
Pada suatu sore di hari libur (liburan dari kerja) aku buang
waktu dengan main internet, lebih kurang satu setengah jam bermain
internet, tiba-tiba terdengar suara bel. Setengah kesal aku hampiri
juga pintu rumahku, dan setelah aku mengintip dari lubang kecil di
pintu, kulihat tiga orang gadis. Kemudian kubuka pintu dan bertanya
(maaf langsung aku terjemahkan saja ke bahasa Indonesia semua
percakapan kami),
"Bisa saya bantu?" kataku kepada mereka.
"Maaf, kami sangat mengganggu, kami mencari Gamha dan sudah satu jam lebih kami coba untuk telepon tapi kedengarannya sibuk terus, maka kami langsung saja datang."
Yang berwajah Jepang nyerocos seperti kereta express di negerinya.
"Oh, soalnya saya lagi main internet, maklumlah soalnya hanya satu sambungan saja telepon saya," jawabku.
"Memangnya kalian tidak tahu kalau si Gamha sedang pulang kampung dua hari yang lalu?" lanjutku lagi.
"Bisa saya bantu?" kataku kepada mereka.
"Maaf, kami sangat mengganggu, kami mencari Gamha dan sudah satu jam lebih kami coba untuk telepon tapi kedengarannya sibuk terus, maka kami langsung saja datang."
Yang berwajah Jepang nyerocos seperti kereta express di negerinya.
"Oh, soalnya saya lagi main internet, maklumlah soalnya hanya satu sambungan saja telepon saya," jawabku.
"Memangnya kalian tidak tahu kalau si Gamha sedang pulang kampung dua hari yang lalu?" lanjutku lagi.
Kali ini yang bule berambut sebahu dengan kesal menjawab, "Kurang
ajar si Gamha, katanya bulan depan pulangnya, Jepang sialan tuh!"
"Eh! Kesel sih boleh, tapi jangan bilang Jepang sialan dong. Gua tersinggung nih," yang berwajah Jepang protes.
"Sudahlah, memang belum rejeki kita dijajanin sama si Gamha," sekarang bule bermata biru nyeletus.
Dengan setengah bingung karena tidak mengerti persoalannya, kupersilakan mereka untuk masuk. Mulanya mereka ragu-ragu, akhirnya mereka masuk juga. "Iya deh, sekalian numpang minum," kata bule yang berambut panjang masih kedengaran kesalnya.
"Eh! Kesel sih boleh, tapi jangan bilang Jepang sialan dong. Gua tersinggung nih," yang berwajah Jepang protes.
"Sudahlah, memang belum rejeki kita dijajanin sama si Gamha," sekarang bule bermata biru nyeletus.
Dengan setengah bingung karena tidak mengerti persoalannya, kupersilakan mereka untuk masuk. Mulanya mereka ragu-ragu, akhirnya mereka masuk juga. "Iya deh, sekalian numpang minum," kata bule yang berambut panjang masih kedengaran kesalnya.
Setelah mereka duduk, kami memperkenalkan nama kami
masing-masing.
"Nama saya Jacky," kataku.
"Khira," kata yang berwajah Jepang (dan memang orang Jepang).
Yang berambut panjang menyusul, "Emily," (Campuran Italia dengan Inggris).
"Saya Eve," gadis bermata biru ini asal Jerman.
"Jacky, kamu berasal dari mana?" lanjutnya.
"Jakarta, Indonesia," jawabku sambil menuju ke lemari es untuk mengambilkan minuman sesuai permintaan mereka.
Sekembalinya saya ke ruang tamu dimana mereka duduk, ternyata si Khira dan Eve sudah berada di ruang komputer saya, yang memang bersebelahan dengan ruang tamu dan tidak dibatasi apa-apa.
"Aduh, panas sekali nich?!" si Emily ngedumel sambil membuka kemeja luarnya.
"Nama saya Jacky," kataku.
"Khira," kata yang berwajah Jepang (dan memang orang Jepang).
Yang berambut panjang menyusul, "Emily," (Campuran Italia dengan Inggris).
"Saya Eve," gadis bermata biru ini asal Jerman.
"Jacky, kamu berasal dari mana?" lanjutnya.
"Jakarta, Indonesia," jawabku sambil menuju ke lemari es untuk mengambilkan minuman sesuai permintaan mereka.
Sekembalinya saya ke ruang tamu dimana mereka duduk, ternyata si Khira dan Eve sudah berada di ruang komputer saya, yang memang bersebelahan dengan ruang tamu dan tidak dibatasi apa-apa.
"Aduh, panas sekali nich?!" si Emily ngedumel sambil membuka kemeja luarnya.
Memang di awal bulan Desember lalu, Australia ini sedang
panas-panasnya. Aku tertegun sejenak, karena bersamaan dengan aku
meletakkan minuman di atas meja, Emily sudah melepaskan kancing
terakhirnya. Sehingga dengan jelas dapat kulihat bagian atas bukit
putih bersih menyembul, walaupun masih terhalangi kaos bagian
bawahnya. Tapi membuatku sedikit menelan ludah. Tiba-tiba aku
dikejutkan dengan suara si Eve,
"Jacky, boleh kami main internetnya?"
"Silakan," jawabku.
Aku tidak keberatan karena aku membayar untuk yang tidak terbatas penggunaannya.
"Mau nge-chat yah?" tanyaku sambil tersenyum pada si Emily.
"Ah, paling-paling mau lihat gambar gituan," lanjut Emily lagi.
"Eh, kaliankan masih di bawah umur?" kataku mencoba untuk protes.
"Paling umur kalian 17 tahun kan?" sambungku lagi.
"Jacky, boleh kami main internetnya?"
"Silakan," jawabku.
Aku tidak keberatan karena aku membayar untuk yang tidak terbatas penggunaannya.
"Mau nge-chat yah?" tanyaku sambil tersenyum pada si Emily.
"Ah, paling-paling mau lihat gambar gituan," lanjut Emily lagi.
"Eh, kaliankan masih di bawah umur?" kataku mencoba untuk protes.
"Paling umur kalian 17 tahun kan?" sambungku lagi.
Khira menyambut, "Tahun ini kami sudah 18 tahun. Hanya tinggal
beberapa bulan saja." Aku tidak bisa bilang apa-apa lagi. Baru saja
aku ngobrol dengan si Emily, si Eve datang lagi menanyakan, apa saya
tahu site-nya gambar "gituan" yang gratis. Lalu sambil tersenyum
saya hampiri komputer, kemudian saya ketikkan salah satu situs seks
anak belasan tahun gratis kesukaanku. Karena waktu mengetik sambil
berdiri dan si Khira duduk di kursi meja komputer, maka dapat
kulihat dengan jelas ke bawah bukitnya si Khira yang lebih putih
dari punyanya si Emily. Barangku terasa berdenyut. Setengah kencang.
Setelah gambar keluar, yang terpampang adalah seorang negro sedang
mencoba memasuki barang besarnya ke lubang kecil milik gadis
belasan. Sedangkan mulut gadis itu sudah penuh dengan barang
laki-laki putih yang tak kalah besar barangnya dengan barang si
negro itu. Terasa barangku kini benar-benar kencang karena nafsu
dengan keadaan. Si Emily menghampiri kami berada, karena si Eve dan
Khira tertawa terbahak-bahak melihat gambar itu. Aku mencoba
menghindar dari situ, tapi tanpa sengaja sikut Khira tersentuh
barangku yang hanya tertutup celana sport tipis. Baru tiga langkah
aku menghindar dari situ, kudengar suara tawa mereka bertambah
kencang, langsung aku menoleh dan bertanya, "Ada apa?" Eve menjawab,
"Khira bilang, sikutnya terbentur barangmu," katanya.
Aku benar-benar malu dibuatnya. Tapi dengan tersenyum aku
menjawab, "Memangnya kenapa, kan wajar kalau saya merasa terangsang
dengan gambar itu. Itu berarti aku normal." Kulihat lagi mereka
berbisik, kemudian mereka menghampiriku yang sedang mencoba untuk
membetulkan letak barangku. Si Eve bertanya padaku sambil tersipu,
"Jacky, boleh nggak kalau kami lihat barangmu?"
Aku tersentak dengan pertanyaan itu.
"Kalian ini gila yah, nanti aku bisa masuk penjara karena dikira memperkosa anak di bawah umur."
(Di negeri ini di bawah 18 tahun masih dianggap bawah umur).
"Kan tidak ada yang tahu, lagi pula kami tidak akan menceritakan pada siapa-siapa, sungguh kami janji," si Emily mewakili mereka.
"Please Jacky!" sambungnya.
"Oke, tapi jangan diketawain yah!" ancamku sambil tersenyum nafsu.
"Jacky, boleh nggak kalau kami lihat barangmu?"
Aku tersentak dengan pertanyaan itu.
"Kalian ini gila yah, nanti aku bisa masuk penjara karena dikira memperkosa anak di bawah umur."
(Di negeri ini di bawah 18 tahun masih dianggap bawah umur).
"Kan tidak ada yang tahu, lagi pula kami tidak akan menceritakan pada siapa-siapa, sungguh kami janji," si Emily mewakili mereka.
"Please Jacky!" sambungnya.
"Oke, tapi jangan diketawain yah!" ancamku sambil tersenyum nafsu.
Dengan cepat kuturunkan celana sport-ku dan dengan galak barangku
mencuat dari bawah ke atas dengan sangat menantang. Lalu segera
terdengar suara terpekik pendek hampir berbarengan.
"Gila gede banget!" kata mereka hampir berbarengan lagi.
"Nah! Sekarang apa lagi?" tanyaku.
Tanpa menjawab Khira dan Emily menghampiriku, sedangkan Eve masih berdiri tertegun memandang barangku sambil tangan kanannya menutup mulutnya sedangkan tangan kirinya mendekap selangkangannya. "Boleh kupegang Jack?" tanya Khira sambil jari telunjuknya menyentuh kepala barangku tanpa menunggu jawabanku. Aku hanya bisa menjawab, "Uuuh.." karena geli dan nikmat oleh sentuhannya. Sedang Eve masih saja mematung, hanya jari-jari tangan kirinya saja yang mulai meraih-raih sesuatu di selangkangannya. Lain dengan Emily yang sedang mencoba menggenggam barangku, dan aku merasa sedikit sakit karena Emily memaksakan jari tengahnya untuk bertemu dengan ibu jarinya. Tiba-tiba Emily, hentikan kegiatannya dan bertanya padaku, "Kamu punya film biru Jack?" Sambil terbata-bata kusuruh Eve untuk membuka laci di bawah TV-ku dan minta Eve lagi untuk masukan saja langsung ke video.
"Gila gede banget!" kata mereka hampir berbarengan lagi.
"Nah! Sekarang apa lagi?" tanyaku.
Tanpa menjawab Khira dan Emily menghampiriku, sedangkan Eve masih berdiri tertegun memandang barangku sambil tangan kanannya menutup mulutnya sedangkan tangan kirinya mendekap selangkangannya. "Boleh kupegang Jack?" tanya Khira sambil jari telunjuknya menyentuh kepala barangku tanpa menunggu jawabanku. Aku hanya bisa menjawab, "Uuuh.." karena geli dan nikmat oleh sentuhannya. Sedang Eve masih saja mematung, hanya jari-jari tangan kirinya saja yang mulai meraih-raih sesuatu di selangkangannya. Lain dengan Emily yang sedang mencoba menggenggam barangku, dan aku merasa sedikit sakit karena Emily memaksakan jari tengahnya untuk bertemu dengan ibu jarinya. Tiba-tiba Emily, hentikan kegiatannya dan bertanya padaku, "Kamu punya film biru Jack?" Sambil terbata-bata kusuruh Eve untuk membuka laci di bawah TV-ku dan minta Eve lagi untuk masukan saja langsung ke video.
Waktu mulai diputar gambarnya bukan lagi dari awal, tapi sudah di
pertengahan. Yang tampak adalah seorang laki-laki 60 tahun sedang
dihisap barangnya oleh gadis belasan tahun. Kontan saja si Eve
menghisap jarinya yang tadinya dipakai untuk menutup mulut sedangkan
jari tangan kirinya masih kembali ke tugasnya. Pandanganku sayup,
dan terasa benda lembut menyapu kepala barangku dan benda lembut
lainnya menyapu bijiku. Aku mencoba untuk melihat ke bawah, ternyata
lidah Khira di bagian kepala dan lidah Emily di bagian bijiku.
"Uuh.. sshh.. uuhh.. sshh.." aku merasa nikmat.
Kupanggil Eve ke sampingku dan kubuka dengan tergesa-gesa kaos dan BH-nya. Tanpa sabar kuhisap putingnya dan segera terdengar nafas Eve memburu.
"Jacky.. oohh.. Jacky.. teruss.. oohh.." nikmat Eve terdengar.
Kemudian terasa setengah barangku memasuki lubang hangat, ternyata mulut Khira sudah melakukan tugasnya walaupun tidak masuk semua tapi dipaksakan olehnya.
"Slep.. slep.. chk.. chk.."
Itulah yang terdengar paduan suara antara barangku dan mulut Khira. Emily masih saja menjilat-jilat bijiku.
"Uuh.. sshh.. uuhh.. sshh.." aku merasa nikmat.
Kupanggil Eve ke sampingku dan kubuka dengan tergesa-gesa kaos dan BH-nya. Tanpa sabar kuhisap putingnya dan segera terdengar nafas Eve memburu.
"Jacky.. oohh.. Jacky.. teruss.. oohh.." nikmat Eve terdengar.
Kemudian terasa setengah barangku memasuki lubang hangat, ternyata mulut Khira sudah melakukan tugasnya walaupun tidak masuk semua tapi dipaksakan olehnya.
"Slep.. slep.. chk.. chk.."
Itulah yang terdengar paduan suara antara barangku dan mulut Khira. Emily masih saja menjilat-jilat bijiku.
Dengan kasar Eve menarik kepalaku untuk kembali ke putingnya.
Kurasakan nikmat tak ketulungan. Kuraih bahu Emily untuk bangun dan
menyuruhnya untuk berbaring di tempat duduk panjang. Setelah kubuka
semua penghalang kemaluannya langsung kubuka lebar kakinya dan
wajahku tertanam di selangkangannya.
"Aaahh.. Jacky.. aahh.. enak Jacky.. teruskan.. aahh.. teruss Jacky!" jerit Emily.
Ternyata Eve sudah bugil, tangannya dengan gemetar menarik tanganku ke arah barangnya. Aku tahu maksudnya, maka langsung saja kumainkan jari tengahku untuk mengorek-ngorek biji kecil di atas lubang nikmatnya. Terasa basah barang Eve, terasa menggigil barang Eve.
"Aaahh.." Eve sampai puncaknya.
"Aaahh.. Jacky.. aahh.. enak Jacky.. teruskan.. aahh.. teruss Jacky!" jerit Emily.
Ternyata Eve sudah bugil, tangannya dengan gemetar menarik tanganku ke arah barangnya. Aku tahu maksudnya, maka langsung saja kumainkan jari tengahku untuk mengorek-ngorek biji kecil di atas lubang nikmatnya. Terasa basah barang Eve, terasa menggigil barang Eve.
"Aaahh.." Eve sampai puncaknya.
Aku pun mulai merasa menggigil dan barangku terasa semakin
kencang di mulut Khira, sedangkan mulutku belepotan di depan barang
Emily, karena Emily tanpa berteriak sudah menumpahkan cairan
nikmatnya. Aku tak tahan lagi, aku tak tahan lagi, "Aahh.." Sambil
meninggalkan barang Emily, kutarik kepala Khira dan menekannya ke
arah barangku. Terdengar, "Heerrkk.." Rupanya Khira ketelak oleh
barangku dan mencoba untuk melepaskan barangku dari mulutnya, tapi
terlambat cairan kentalku tersemprot ke tenggorokannya. Kepalanya
menggeleng-geleng dan tangannya mencubit tanganku yang sedang
menekan kepalanya ke arah barangku. Akhirnya gelengannya melemah
Khira malah memaju mundurkan kepalanya terhadap barangku. Aku merasa
nikmat dan ngilu sekali, "Sudah.. sudah.. aku ngiluu.. sudah.."
pintaku. Tapi Khira masih saja melakukannya. Kakiku gemetar, gemetar
sekali. Akhirnya kuangkat kepala Khira, kutatap wajahnya yang
berlumuran dengan cairanku. Khira menatapku sendu, sendu sekali dan
kudengar suara lembut dari bibirnya, "I Love you, Jacky!" aku tak
menjawab. Apa yang harus kujawab! Hanya kukecup lembut keningnya dan
berkata, "Thank you Khira!"
Rasa nikmatku hilang seketika, aku tak bernafsu lagi walaupun
kulihat Eve sedang memainkan klitorisnya dengan jarinya dan Emily
yang ternganga memandang ke arahku dan Khira. Mungkin Emily
mendengar apa yang telah diucapkan oleh Khira. Demikianlah, kejadian
demi kejadian terus berlangsung antara kami. Kadang hanya aku dengan
salah satu dari mereka, kadang mereka berdua saja denganku. Aku
masih memikirkan apa yang telah diucapkan oleh Khira. Umurku lebih
10 tahun darinya. Dan sekarang Khira lebih sering meneleponku di
rumah maupun di tempat kerjaku. Hanya untuk mendengar jawabanku atas
cintanya. Dan belakangan aku dengar Eve dan Emily sudah jarang
bergaul dengan Khira.
0 komentar:
Posting Komentar