Aku kini benar-benar terbangun setelah mendengar
dengkuran Mas Har beberapa lamanya. Kuperhatikan dada dan perutnya
yang padat lemak itu naik-turun seirama dengan suara dengkur yang
makin menjengkelkanku. Aku turun dari ranjang dan berjalan menuju
cermin besar di kamar tidur kami. Kupandangi dan kukagumi sendiri
tubuh telanjangku yang masih langsing dan cukup kencang di usiaku
yang tigapuluhan. Kulitku masih cukup mulus dan putih, payudaraku
tetap bulat dan kenyal, pas benar dengan bra 37B warna pink
favoritku saat kuliah. Dan wajahku masih halus, semua terawat oleh
kosmetik yang aku dapatkan dari uang Mas Har.
Ah, aku masih sangat menarik. Tentu saja, tanda-tanda ketuaan tak
bisa dihindari, namun tubuhku belum pernah melar karena hamil,
apalagi melahirkan. Aku masih ingin meniti karierku, aku ini wanita
yang menikmati kekuasaan. Dan menikah dengan Mas Har membuka
lebar-lebar kesempatan untuk meraih ambisi itu. Kualihkan pandangan
pada sosok lelaki tambun di ranjangku. Mas Har yang dulu tampil
sangat jantan, bisa sangat berubah dalam waktu 12 tahun. Rambut
halus di dada dan perutnya dulu yang selalu membuatku bergairah bila
dipeluknya, kini tumbuh makin lebat dan liar, sedangkan Mas Har
tidak pernah mau mencukurnya. Perutnya yang kokoh dulu kini ditutupi
oleh selimut lemak yang sangat tebal. Memang otot dada dan tangannya
yang kekar masih bertahan. Namun kalau aku bercinta dengan Mas har
sekarang, rasanya aku sedang ditiduri oleh seekor gorilla.
Memuakkan.
Meski begitu, hasratku akhir-akhir ini makin tak tertahankan.
Seringkali, akulah yang meminta duluan ke Mas Har untuk memuaskan
nafsuku. Namun gara-gara stamina Mas Har yang loyo di usianya yang
setengah abad lebih, aku hampir pasti tidak terpuaskan dan
kebanyakan aku sendiri yang menyelesaikan "tugas" Mas Har. Sama
seperti yang terjadi sore ini, tinggal sebentar lagi aku merasakan
orgasme, tiba-tiba Mas Har keluar, dan dengan napas tersengal-sengal
ia membelai-belai tubuhku kemudian tertidur lelap di sampingku.
Lagi-lagi harus jari-jariku sendiri yang memuaskanku. Aku sudah tak
tahan. Aku tidak peduli lagi pada nilai dan norma yang berlaku
bagiku sebagai perempuan. Kubulatkan tekadku, kemudian aku pergi ke
kamar mandi untuk membersihkan diri dari bekas cumbuan suamiku yang
memuakkan.
Selesai sarapan Mas Har pamit padaku dan mengatakan betapa
menyesalnya dia harus meninggalkanku akhir pekan ini ke Singapura,
demi kepentingan lobby perusahaannya. Mas Har memang pernah
menawarkan padaku untuk pergi bersamanya, tapi aku menolak dengan
alasan aku lelah dengan pekerjaan kantorku dan sedang tidak ingin
pergi begitu jauh hanya untuk berbelanja. Dan kesempatan ini akan
aku gunakan sebaik-baiknya. Sore ini aku akan punya kegiatan yang
lebih menarik dari sekedar berbelanja, di Singapura sekalipun. Supir
kami mengantar Mas Har pergi dan 30 menit kemudian aku pergi menuju
kantor membawa sedanku sendiri.
Setelah makan siang aku kembali ke kantor dan menyelesaikan
sebagian pekerjaanku hari itu dan dua jam sebelum waktu pulang, aku
menyerahkan sisa pekerjaan itu ke bawahanku. Mereka tidak terlalu
senang dengan tugas mendadak itu, tapi nampaknya mereka sudah
terbiasa dengan perangaiku. Mereka paham bahwa aku tidak ingin
menjadi lelah, karena sepulang kerja nanti aku akan pergi bersama
teman-temanku, eksekutif wanita muda yang lain. Hanya saja mereka
tidak tahu kalau hari itu, aku sudah membatalkan acara jalan-jalan
kami.
Kukemudikan sedanku ke arah rumahku, namun kemudian berbelok
menuju tempat lain. Sekitar 15 menit kemudian aku berhenti di
samping sebuah lapangan basket di dalam suatu perumahan. Di sana
sejumlah remaja SMU sedang bermain. Aku turun dari mobilku dan duduk
di samping lapangan tempat tas-tas mereka diletakkan, lalu
menyaksikan permainan mereka. Salah satu dari mereka, mengenakan
kostum basket warna merah, yang kemudian melihatku, tersenyum dan
melambaikan tangannya. Aku membalas dengan cara serupa. Dia adalah
Angga, anak salah satu bawahanku yang sedang kutugaskan pergi ke
luar kota selama beberapa hari. Hubunganku dengan keluarga mereka
cukup akrab untuk mengetahui bahwa Angga mengikuti latihan basket
dua kali seminggu di sana.
Sepuluh menit kemudian permainan berakhir dan sejumlah remaja itu
menuju ke tas mereka, yaitu ke arahku. Aku berjalan menuju Angga
membawa sebotol minuman yang sudah kusiapkan pagi tadi.
"Ang, minum dulu nih. Ternyata tadi di mobil Tante masih ada
sebotol", tawarku.
"Oh iya, Tante, makasih!", jawabnya tersengal.
"Oh iya, Tante, makasih!", jawabnya tersengal.
Nampaknya ia masih kelelahan. Angga mengambil botol dari tanganku
dan segera menghabiskan isinya. Kami berjalan menuju tasnya. Dan ia
mengeluarkan handuk untuk menyeka keringatnya. Aku mengintip
sebentar ke dalam tasnya dan bersyukur aku memberikan botol
minumanku kepada Angga sebelum ia sempat mengambil minuman bekalnya
sendiri.
Sebagai pemain basket, Angga cukup tinggi. Dari tinggi badanku
yang 168 cm kuperkirakan kalau tinggi Angga sekitar 180-an cm. Bisa
kuperhatikan tangan Angga cukup kekar untuk anak seusianya,
sepertinya olahraga basket benar-benar melatih fisiknya. Figur
badannya menunjukkan potensinya sebagai atlet basket. Aku beralih ke
wajahnya yang masih nampak imut walau basah oleh keringat. Dengan
kulit yang kuning, wajahnya benar-benar manis. Aku tersenyum.
Setelah menyeka wajahnya, Angga memperhatikanku sebentar dan
berkata, "Tante Nia dari kantor? Kok pake ke sini?"
"Nggak, males aja mau ke rumah, enggak ada temannya sih. Om Harry lagi ke Singapura. Jadi tante jalan-jalan.. terus ternyata lewat deket-deket sini, sekalian aja mampir.." ujarku setengah merajuk.
"Nggak, males aja mau ke rumah, enggak ada temannya sih. Om Harry lagi ke Singapura. Jadi tante jalan-jalan.. terus ternyata lewat deket-deket sini, sekalian aja mampir.." ujarku setengah merajuk.
Ia beralih sebentar untuk ngobrol dan bercanda dengan temannya.
"Sama dong Tante, Angga lagi males nih di rumah, nggak ada orang
sih!"
"Nggak ada orang? Ibu sama adik kamu ke mana?"
"Nginep di rumah nenek, besok sore pulang. Aku disuruh jaga rumah sendirian". Angga menaruh handuknya dan duduk di sampingku.
"Oh, kebetulan banget ya.." kata-kata itu tiba-tiba terlepas dari mulutku.
"Nggak ada orang? Ibu sama adik kamu ke mana?"
"Nginep di rumah nenek, besok sore pulang. Aku disuruh jaga rumah sendirian". Angga menaruh handuknya dan duduk di sampingku.
"Oh, kebetulan banget ya.." kata-kata itu tiba-tiba terlepas dari mulutku.
Yang dikatakan Angga benar-benar di luar dugaanku, tapi justru
membuat keadaan jadi lebih baik. Aku tidak perlu bersusah payah
untuk mencari tempat ber..
"Kenapa, Tante? Kebetulan gimana?"
"Iya, kebetulan aja kita sama-sama cari teman.." Angga tersenyum.
"Sebenarnya.. Ehh.. Tante ada perlu sih ke rumahmu. Ada file laporan penting yang harus diambil segera, padahal papa kamu masih di luar kota. Kira-kira bisa nggak ya, tante ke rumahmu ngambil file itu? Tante sudah bilang kok sama Papa kamu, katanya tante disuruh ngambil aja di rumah.."
"Oh, nggak apa-apa kok. Cuma mungkin agak lama ya, Tante. Soalnya aku musti cari-cari kunci cadangannya lemari papa. Biasanya selalu dikunci sih, kalau pergi-pergi. "
"Nggak masalah, Tante nggak buru-buru. Kita pergi sekarang?".
"Iya, kebetulan aja kita sama-sama cari teman.." Angga tersenyum.
"Sebenarnya.. Ehh.. Tante ada perlu sih ke rumahmu. Ada file laporan penting yang harus diambil segera, padahal papa kamu masih di luar kota. Kira-kira bisa nggak ya, tante ke rumahmu ngambil file itu? Tante sudah bilang kok sama Papa kamu, katanya tante disuruh ngambil aja di rumah.."
"Oh, nggak apa-apa kok. Cuma mungkin agak lama ya, Tante. Soalnya aku musti cari-cari kunci cadangannya lemari papa. Biasanya selalu dikunci sih, kalau pergi-pergi. "
"Nggak masalah, Tante nggak buru-buru. Kita pergi sekarang?".
Angga mengangguk lalu kami berjalan menuju mobilku. Angga
melambaikan tangan pada teman-temannya dan meneriakkan kata-kata
perpisahan. Kuperhatikan teman-teman Angga saling berbisik dan
tertawa-tawa kecil melihat kami pergi.
"Di rumah benar-benar nggak ada orang yah, Ang?"
"Cuma aku doang, Tante. Untungnya sih Mama ngasih uang lumayan buat cari makan."
"Aduh.. Kaciann.." kataku manja. "Tapi biasanya seumuran kamu pasti ada pacar yang nemenin kemana-mana kan.."
Angga menoleh dan tersenyum padaku. "Wah, Angga nggak punya Tante. Belum ada yang mau!"
"Ah, masa? Cowok keren kaya kamu gini loh!" Kutepuk pelan lengannya, mencoba merasakan sejenak kekokohannya. "Kalau Tante sih, sudah dari dulu Angga tante sabet!"
"Cuma aku doang, Tante. Untungnya sih Mama ngasih uang lumayan buat cari makan."
"Aduh.. Kaciann.." kataku manja. "Tapi biasanya seumuran kamu pasti ada pacar yang nemenin kemana-mana kan.."
Angga menoleh dan tersenyum padaku. "Wah, Angga nggak punya Tante. Belum ada yang mau!"
"Ah, masa? Cowok keren kaya kamu gini loh!" Kutepuk pelan lengannya, mencoba merasakan sejenak kekokohannya. "Kalau Tante sih, sudah dari dulu Angga tante sabet!"
Angga hanya tertawa ramah, ia sudah biasa dengan gaya bercandaku
yang agak genit itu. Padahal sebenarnya, sosok Angga benar-benar
sudah mempesonaku saat ia diperkenalkan padaku dan Mas Har setahun
yang lalu.
Perjalanan ke rumah Angga memakan waktu sekitar 30 menit karena
jalanan sudah penuh oleh mobil-mobil orang lain yang menuju rumah
masing-masing. Dalam perjalanan aku tetap memperhatikan Angga. Aku
ingin tahu apakah minuman yang tadi Angga minum sudah menunjukkan
reaksinya. Biasanya aku menggunakan obat itu untuk memancing nafsu
Mas Har dan mempertahankan staminanya. Aku mungkin sudah gila..
Mencoba untuk tidur dengan bocah SMU anak pegawaiku sendiri.. Tapi
biarlah.. Gelegak d
tamu dan ia menuju dapur untuk menyiapkan segelas minuman buatku.
Rumah Angga tidak besar, sekedar cukup untuk tinggal empat orang.
Sekali lagi aku menanyakan pada diriku sendiri, apakah aku ingin
melakukan hal ini.. Dan sedetik kemudian aku menjawab: aku memang
benar-benar menginginkannya..
Kutanggalkan jas dan blazerku, menyisakan sebuah tank-top putih
untuk melekat di bagian atas tubuhku. Tadi pagi aku sudah mematut
diri di kaca dengan tank-top ini. Sebenarnya ukurannya sedikit lebih
kecil dari ukuranku, hingga cukup ketat untuk memperlihatkan dengan
jelas bentuk payudaraku, bahkan puting susuku. Aku tersenyum geli
ketika meihat diriku di cermin pagi itu. Rok miniku kutarik sedikit
lebih tinggi, dan kusilangkan kakiku sedemikian rupa hingga Angga
yang nanti kembali dari dapur akan memperhatikan pahaku yang mulus.
Angga keluar beberapa menit kemudian membawakan segelas sirup
dengan batu es. Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan langkahnya
menuju meja di depanku.
"Panas banget, Ang. Makanya Tante copot blazernya", kataku
setengah mengeluh.
"Iya, memang di sini nggak ada AC seperti di rumah Tante".
"Iya, memang di sini nggak ada AC seperti di rumah Tante".
Suara Angga sedikit terbata, nafasnya naik-turun, dan mencoba
tersenyum. Kulihat Angga juga berkeringat, tapi aku tahu hal itu
bukan hanya karena panas yang ada di ruang tamu ini. Aku mengambil
gelas yang dingin itu dan menggosokkannya pada bagian bawah leherku
yang berkeringat. Segar sekali..
"Ahh.. Seger baget Ang. "
Angga menelan ludahnya. Kuminum sedikit sirup itu.
"Uhh.. Top banget. Enak, Ang", ujarku setengah mendesah.
"Hmm.. Tante.. Angga.. Angga cari kunci lemarinya papa dulu ya.." kata Angga. Anak ini pemalu juga, kataku dalam hati. "Oh, iya deh, Tante tunggu. " Angga kemudian bergegas menuju satu lemari besar di samping sofa dan mulai membuka laci-lacinya.
"Hmm.. Tante.. Angga.. Angga cari kunci lemarinya papa dulu ya.." kata Angga. Anak ini pemalu juga, kataku dalam hati. "Oh, iya deh, Tante tunggu. " Angga kemudian bergegas menuju satu lemari besar di samping sofa dan mulai membuka laci-lacinya.
Aku bersabar sedikit lebih lama. Aku tahu dari tingkah laku Angga
yang makin gelisah, kalau obat itu sebentar lagi akan benar-benar
memberi efek. Setelah 10 menit mencari dan belum menemukan kuci itu.
Aku berjalan ke arah Angga yang masih membungkuk, mencari kunci itu
di salah satu laci.
"Ang.. Apa nggak lebih baik.."
Angga lalu berdiri dan membalikkan badannya menghadapku. Aku tahu
dia sempat mencuri pandang ke arah dadaku sebelum melihat wajahku.
Ia menelan ludahnya. Aku mendekat padanya hingga jika aku melangkah
sekali lagi tubuhku akan langsung bersentuhan dengannya. Angga
mencoba mundur, tapi lemari besar itu menghalanginya.
"Kenapa..? Tante..?", nafasnya terasa menyentuh dahiku.
Aku mendongak sedikit, menatap wajahnya.
"Lebih baik kamu.."
Tanganku meraba otot bisepnya, padat..
"Mandi dulu.."
Tanganku yang satu menyentuh tepi bawah kostum basketnya..
"Terus ganti baju.."
Kedua tanganku mulai mengangkat kausnya..
"Kan, kamu keringetan gini.."
Tanganku setengah meraba otot-otot perutnya yang keras sambil
terus membawa kausnya ke atas..
"Nanti.. Kuncinya.. Dicari lagi.."
Dadanya cukup kokoh, dan terasa sekali paru-parunya mengembang
dan mengempis semakin cepat, jantungnya berdegup kencang.. Wajahku
terasa panas, jantungku ikut berdetak cepat. Angga mengangkat
lengannya dan berkata, "Ya Tante.."
Tapi suara Angga lebih mirip desahan berat. Kuangkat lagi kausnya
ke atas dan Angga dengan cepat meneruskan pekerjaanku dan kemudian
melemparkan kausnya ke samping. Angga sekarang bertelanjang dada,
dengan celana selutut masih dikenakannya. Aku merapatkan badanku
padanya namun tiba-tiba aku berhenti setelah merasakan sesuatu
mengenai perutku. Aku mundur sedikit dan melihat ke arah dari mana
sentuhan di perutku berasal.
"Oh..!", bisikku sedikit terkejut.
Dari dalam celananya terlihat tonjolan yang cukup panjang dan
besar. Penis Angga.. Siluetnya terlihat jelas dari celana basketnya
yang longgar. Aku melihat wajah Angga. Ia juga melihat tonjolan di
celananya itu, sedikit terkejut, kemudian melihatku. Napasnya
menderu.
"Eh, maaf tante.. aku.. Nggak pernah.. Pake.."
"Celana dalam? Nggak.. Pernah..?" potongku.
"Celana dalam? Nggak.. Pernah..?" potongku.
Ia hanya menggeleng dan kembali menatapku.
Aku tersenyum. "Nggak apa-apa.. Lebih baik gitu.."
Wajah imutnya memperlihatkan keterkejutan. Tapi aku segera
kembali merapatkan tubuhku dan maju lebih berani. Kucengkram batang
kemaluannya dari luar celananya. Angga napak semakin terkejut dan
badannya berguncang sedikit. Kemudian semua berjalan menuruti nafsu
kami yang bergelora.
Angga memelukku, membawa bibirku rapat ke bibirnya dan melakukan
ciuman paling bernafsu yang pernah aku terima dalam satu dekade ini.
Lidahnya bergelut liar dengan lidahku, bibirku digigitnya pelan..
Kupegang kepalanya dan kurapatkan terus dengan wajahku. Kuacak-acak
rambutnya seakan aku ingin seluruh tubuhnya masuk ke dalam ragaku.
Angga mencoba menyudahi ciuman itu. Aku khawatir ia akan menolak
untuk bertindak lebih jauh, hingga aku tidak membiarkannya. Tapi aku
sudah sulit mengatur napasku, dan akhirnya kulepaskan wajahnya. Aku
tersengal, mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya. Ternyata
Angga sama sekali tidak berhenti. Saat aku ditaklukkan nafsu saat
berciuman tadi, Angga sudah berhasil melepaskan tank-topku tanpa
sedikitpun aku menyadarinya. Tank-top itu kini berada di bawah
kakiku. Dan kini Angga mulai menghisap dan menjilati leherku dengan
buas.
"Ohh.. Anngghh.." ini dia yang selama ini kudambakan, gairah dan
energi yang begitu meluap..
Lidah Angga bergerak lagi ke bawah.. Membasahi belahan dadaku..
Berputar sebentar di sekitar puting kiriku, memberikan sensasi geli
yang nikmat.. Kemudian Angga melahap payudaraku.
"Ouuhh.. Kamu.. Ahh.. Kurang ajar yahh.. Hmmpphh.. Terusin
Anngg.. Ahh.. Mmmhh.."
Bocah ini.. Benar-benar bernafsu.. Ia lalu melakukan hal sama
pada payudaraku yang sebelah kanan dan segera membawaku ke ambang
orgasme.. Aku merasakannya.. Sedikit lagi.. Tapi ia tiba-tiba
berhenti, membuatku melihat ke bawah, ingin tahu apa yang terjadi.
Ia berlutut, dan mencoba melepaskan rok miniku. Tanganku bergerak
cepat membantu Angga dan dua detik kemudian rok itu sudah jatuh ke
lantai. Aku mencoba melepaskan pula celana dalamku, namun Angga
lebih cepat.. Ia merobeknya.. Sejurus kemudian lidahnya beraksi
lagi.. Dalam liang kewanitaanku..
"Anggahh.. Kamuhh.. Nggak sopann.."
Kumajukan pinggulku, rasanya aku ingin membenamkan seluruh wajah
Angga ke dalam vaginaku.. Lidah Angga yang tak terlatih, membuatku
harus membantunya menyentuh daerah yang tepat dengan menggerakkan
kepala bocah itu.
"Uuuhh.. Di sini Anngghh.. Ohh.. Yeeaahh..!!"
Angga terus bergerilya dalam gua-ku hingga aku merasakan
gelombang kenikmatan yang hebat.
"Angghh.. Tante.. Mau.. Aaahh!!"
Tubuhku menggeliat seiring dengan orgasme yang melandaku. Angga
dengan liar menjilati cairan-ku sampai tetes yang terakhir. Kakiku
terasa lemas.. Pelan-pelan aku terduduk.. Dan kemudian berbaring di
lantai.. Merasakan sisa-sisa kenikmatan yang telah Angga berikan
sambil terengah-engah..
Aku melihat ke arah Angga. Ia juga sedang terengah-engah.
Badannya berdiri kokoh di hadapanku. Badan kekarnya yang
berkeringat, berkilat oleh pantulan matahari sore yang menerobos
jendela kamar. Dan.. Tak ada lagi celana basket yang melekat di
badan itu. Pistolnya.. Mengacung tegak ke arahku. Batangnya begitu
besar.. Pasti lebih dari 20 cm, dan tebal. Rambut tipis dari
kemaluannya berlanjut ke atas menuju pusarnya. Oh.. Begitu muda dan
gagah..
"Tante.. Aku.."
"Giliran Tante, Ang!"
"Giliran Tante, Ang!"
Aku berdiri, menghimpit tubuhnya dan menjilati badan remaja itu.
Tangannya yang kuat mengelus mendekapku sambil mengusap punggungku.
Saat kugigit-gigit putingnya, Angga mendesah perlahan dan rambutku
diacaknya. Tanganku dengan mudah mendapati penisnya, kemudian
kukocok pelan. Sementara itu lidahku mengembara di otot-otot perut
Angga.
Kini aku sampai pada pusarnya. Lidahku terus bergerak turun dan
kulahap pucuk batang kejantanan Angga. Angga menggeram. Kukulum
batangnya dan aku puas mendengar Angga terus mendesah.
"Ooohh.. Tante.. Ahh.."
Kucoba untuk menelan lebih dalam, tapi ukuran penis Angga terlalu
besar. Sudah saatnya..
"Ayo Ang, biar tante ajarin caranya jadi lelaki.."
Kuajak dia berbaring di lantai, lalu pelan-pelan aku duduk di
perutnya sambil memasukkan pistol Angga ke 'sarung'-nya, memastikan
agar aku mendapatkan kenikmatan yang aku mau.
"Aaahh.. Angga.. Punya kamuhh.. Besaarr.. Uuhh.."
Aku membelai dadanya, dan mulai bergerak naik-turun. Angga
melenguh dan memejamkan mata, meresapi setiap gerakan yang kubuat.
"Uuuhh.. Eegghh.. Aduhh.. Nggak pernah.. Angga.. Ngerasain.. Enak
kaya ginihh.."
Setelah mulai terbiasa dengan ritmeku, Angga membuka matanya.
Tangannya memegang kedua payudaraku yang naik turun.
"Tante Nia.. Oohh.. Seksi banget.. Ahh.."
Ia memerasnya.. Dan terasa sangat nikmat.. Kini aku yang
menghayati permainan Angga. Tapi aku segera tersadar, kali ini AKU
yang akan memuaskan Angga.
Aku mempercepat gerakanku, sambil sesekali memutar-mutar
pinggulku.
"Ohh.. Tante.. Terusiinn.. Enaakk.. Aahh.. Mmmhh.."
Tangannya beralih ke pantatku, mencoba ikut mengatur ritmeku.
Kuberikan apa yang Angga minta, kujepit batangnya dan aku semakin
bergoyang menggila.
"Gini kan.. Mau kamu, Angghh.. Ehh.."
"Uhh.. Yaa.. Ohh.. Aaagghh.. Kenceng bangett.. Ayo tante.."
"Uhh.. Yaa.. Ohh.. Aaagghh.. Kenceng bangett.. Ayo tante.."
Aku bagai lupa daratan, kenikmatan yang kurasa benar-benar
membius, dan sebentar lagi.. Tinggal sebentar..
"Tantee.. Oooaagghh!! Oh, yeaahh!!"
"Annggaa.. Aaagghh.. Ohh.. Ohh.."
"Annggaa.. Aaagghh.. Ohh.. Ohh.."
Aku merasakan kenikmatan paling dahsyat dalam hidupku, bersamaan
dengan ejakulasi Angga. Kami berpelukan, berguling sementara Angga
masih meneruskan tikaman penisnya dalam vaginaku, membawaku semakin
jauh dari dunia ini..
"Ohh.. Anggaa.. Ohh.. Kamu.. Udahh.. Bukan perjaka.. Lagi.. Ahh.."
Ia menciumiku, memanjakan payudaraku, membelai-belai rambutku..
Dengan napas yang tersengal-sengal Angga berbisik di telingaku,
"Duhh.. Nggak nyangkah.. Tante.. Nakal banget.. Ahh.. Tapi Angga..
Suka.. Dinakalin.. Tante.. Ehh.. Kontol Angga masih ngaceng nihh..
ehh.. Mau Tante apain lagi..?"
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar